Visi Kami

" AGAR HAK DAN MARTABAT MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH DIAKUI DAN DIHORMATI. "

Kamis, 07 Juni 2012

Cerita Mereka...


Ilustrasi

KISAH SARJANA TERJEBAK PERDAGANGAN MANUSIA - SELALU DIJEMPUT DI TENGAH MALAM

Dokumen ditahan agen, tanpa upah dioper dari satu majikan ke majikan lainnya, wanita 40 tahun berinisial DN pun terlunta-lunta di Negeri Jiran.

JARUM jam kala itu menunjuk pukul 02.00 WIB, Selasa (7/2) lalu, ketika Agus alias Jablay menemui DN dengan maksud merekrutnya menjadi tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri. Perempuan kelahiran Jakarta, 17 November 1972 ini dijanjikan bekerja di kedai dengan iming-iming fee Rp4 juta plus tidak ada pemotongan gaji selama bekerja di Malaysia, serta semua dokumen diurus gratis.
Selanjutnya, begitu DN menyepakati dini hari itu, Agus lalu menyerahkannya kepada Priyo, seorang lelaki yang kemudian menampung DN untuk sementara di sebuah rumah kontrakan di Jalan Baru RT.004 RW.04 Ciracas, Jakarta Timur. Sekitar pukul 13.00 WIB, DN menjalani tes medical check-up. Ternyata, oleh pihak medis yang mendiagnosanya, wanita beralamat di Jalan Jembatan 1 RT.007 RW.05 Bale Kambang, Jakarta Timur ini, dinyatakan menderita tekanan darah tinggi. Karenanya, ia lantas diberi obat penurun tensi. Tetapi tak juga ngedrop.

Rabu (8/2) sekitar pukul 01.00 WIB, DN dijemput oleh Anjas dan Asep, dua orang yang merupakan rekanan Priyo dan Agus, lalu membawa DN ke Bandara Soekarno Hatta (Soeta) di Tangerang. Dengan menumpang pesawat maskapai City Link, DN bersama dua orang calon TKW lainnya yang juga diduga rekrutan Agus dan kawan-kawan, akhirnya diterbangkan menuju Bandara Hang Nadim di Batam. Setibanya, seorang pria bernama Ucok menjemput mereka dan sekitar pukul 10.00 WIB langsung memboyongnya ke kediaman Marsini alias Ani, Perumahan Puri Legenda, Batamkota. DN sempat beristirahat sejenak, dan sekitar pukul 15.00 WIB diambil datanya untuk pembuatan paspor.
Sehari berikutnya, Kamis (9/2) sekitar pukul 09.00 WIB, DN dijemput menuju Kantor Imigrasi Klas I Khusus Batam, Jalan Engku Putri, Batamkota, untuk pengambilan foto dan wawancara dalam proses pembuatan paspor. Ketika itu, seperti diceritakan DN, ia mengantongi nomor antrian pemohon pengurusan paspor C/090. Lalu, sekitar pukul 14.00 WIB, DN menelpon Anjas agar dikirimi duit Rp300 ribu melalui Western Union untuk keperluan selama DN di Batam.
Setelah dokumen keimigrasian DN tercukupi, Senin (13/2) sekitar pukul 15.00 WIB, ia dijemput dari Puri Legenda menuju ke Terminal Ferry International Batamcentre. Barulah sekitar pukul 17.45 WIB, DN diberangkatkan menuju Stulang Laut dengan menumpang kapal ferry Citra. Sekitar pukul 21.00 WIB waktu Malaysia, kedatangan DN disambut Faisal alias Acai dan koleganya yang sudah menunggu di sebuah kedai ayam goreng dekat Seven Eleven, salah satu kawasan di belakang Terminal Ferry Stulang Laut. Saat pertemuan itu juga, paspor DN diminta oleh si agen, Acai. Begitu paspor berpindah tangan, DN dibawa ke sebuah tempat tinggal yang dikelola Acai di Apartement Christal Villa, Selesa Jaya, Johor
Bahru. "Kalau saya dijual ke majikan, paspor dipegang majikan. Kalau masih di agen, ya dialah yang nahan paspor itu," aku DN kepada POSMETRO.

Ilustrasi
KALAU MACAM-MACAM, DIBUNUH!
Ketika tiada penduduk sekitar Villa Ponderosa menaruh rasa iba, DN yang nekad melarikan diri dengan jalan melompati tembok pagar rumah sang majikan kemudian ditolong oleh seorang buruh bangunan asal Indonesia.
DUA hari setelah menginjakkan kaki di negerinya artis Siti Nurhaliza, wanita jebolan Universitas Indonesia (UI) Jakarta yang juga mengaku pernah menjadi dosen di salah satu perkuliahan di ibukota ini, mencium gelagat tidak beres yang ditunjukkan oleh Acai. Ibarat berkas saham bursa efek yang hendak dilelang, DN pun diping-pong dari tangan ke tangan agen lainnya selain Acai sendiri.
Rumah penampungan di Puri Legenda, Batamkota
Rabu (15/2) sekitar pukul 12.00 waktu Malaysia, Acai langsung melego DN kepada seorang agen wanita bernama Reni. "Itu terjadi di daerah Skudai, Johor Bahru," ungkap pemilik rambut lurus dan berkulit putih ini, ketika ditemui POSMETRO di Sekretariat LSM Gerakan Anti Trafficking (GAT) Kepulauan Riau, Komplek Bukit Palem Permai, Batamkota.
Selanjutnya, masih pada hari itu juga sekitar pukul 20.00 waktu Malaysia, mendadak DN dijemput atau istilah kasarnya dibeli kembali oleh Acai untuk diboyong ke tempat tinggalnya lagi. "Agen Acai paling sering mengintimidasi, salah satunya mengancam akan membunuh ketika saya merengek minta pulang. Dia tak mau memulangkan, malah saya dijualnya ke agen lain. Katanya, kalau kau macam-macam, kubunuh kau!" kenang DN menirukan hardikkan Acai.
Pada hari Sabtu (18/2) sekitar pukul 14.00 waktu Malaysia, lagi-lagi wanita dengan penampilan sederhana tanpa mengenakan pernak-pernik perhiasan emas ini, dijual kepada agen baru, yakni Imah, perempuan paruh baya yang notabene orangtua Acai. Nah, dari situlah DN dilimpahkan lagi ke tangan Mrs Lee, seorang konglomerat yang disebut-sebut merupakan bos Hotel Angsana di 89 Jalan Ujong Pasir 75050 Melaka. DN cuma pasrah dikenai perjanjian kerja menjadi cleaning service hotel selama tiga sampai empat jam per hari.
Akan tetapi bak sapi perahan, ternyata keringat DN tak cuma diperas untuk menjamin kebersihan hotel saja. Pasalnya, selesainya beres-beres di Angsana, ia masih dibawa pulang ke rumah ibunda Acai, Mrs Lee, di Jalan Taman Kasturi. "Di sana saya disuruh-suruh lagi untuk membantu pekerjaan rumahtangga, bersih-bersih rumah, dan tinggal di tempat tersebut," katanya. Sehari kemudian, Minggu (19/2) sekitar pukul 05.00 waktu Malaysia, DN sudah harus melakukan pekerjaan di hotel, diantaranya memasak. Ia sempat kaget lantaran sekitar pukul 09.00 tiba-tiba darah dan urinenya diuji laboratorium kesehatan. Usai medical test itu, DN kembali melanjutkan bekerja di hotel hingga pukul 17.00 waktu setempat.
Belum hilang rasa penat dan capek, setibanya di rumah orangtua Mrs Lee, DN "dipaksa" menyambung lelah pekerjaan rumah sampai pukul 21.00 dan begitu seterusnya aktivitas tugas DN sama seperti yang dilakukan di hari Minggu itu. "Lagipula aneh, kontrak kerja dua tahun. Tapi nggak ada surat kontrak. Lucunya lagi, baru boleh kirim uang ke kampung setelah bekerja setahun. Itupun hanya gaji dua bulan, setelah itu tidak boleh lagi," bebernya.
Berselang empat hari, Kamis (23/2), DN dari majikan Mrs Lee dikembalikan ke agen Imah karena dia sakit dan minta agar ditukar dengan pekerja baru. "Ketika itu saya baru kerja seminggu di Malaysia, namun langsung jatuh sakit. Makanya saya minta dipulangkan saja," tutur perempuan berpostur sedang yang mengklaim dirinya bagian dari kelompok orang-orang Indigo ini.Sebentar saja Muhammad, suami agen Imah sekaligus ayah Acai, dalam perjalanan menjemput DN sempat merencanakan supaya DN bisa terlepas dari jeratan anaknya, Acai, dengan jalan ngacir kabur. Lalu, supaya agenda itu tidak terlalu mencolok, DN diantar ke rumah Acai. Tepat pukul 21.00 waktu di sana, DN sampai juga di huniannya Acai. Dua hari berikutnya, Sabtu (25/2) sekitar pukul 17.00 waktu Malaysia, DN mengaku dijual lagi oleh Acai kepada agen bernama Susan, setelah melalui usaha Acai mengikat janji mereka bertemu di kedai ayam goreng di kawasan Stulang Laut.
Setelah duduk-duduk di kedai tersebut, DN lalu dibawa pulang ke tempat istirahat Susan di Villa Ponderosa, sebuah bangunan bertingkat menyerupai bungalow. "Rencananya akan dipekerjakan di kantin," ucap DN, korban trafficking yang kala itu masih dihantui intervensi dari Acai, lelaki yang mengancam bakal menghabisinya apabila masih bernyali mau mengelak dari pekerjaan sebagai pembantu dan kabur.
Senin (27/2) sekitar pukul 05.00, DN pun memutuskan untuk memilih kabur dengan cara melompati tembok pagar rumah majikan dan berlari sekencangnya sambil mencari rumah penduduk terdekat. "Minta tolong sana-sini, tapi mereka yang mau menolong saya saja cuma menatap penuh keraguan. Mungkin karena melihat saya panik ketakutan sambil terburu-buru." DN mengutarakannya secara gamblang.
Beruntung Dewi Fortuna masih berpihak, sehingga dalam perjalanan ngacirnya DN ditolong oleh seorang pekerja bangunan yang notabene sesama perantau asal Indonesia. Melalui uluran tangan bantuan si tukang bedah rumah, DN akhirnya bisa mengontak telpon Muhammad, bapaknya Acai. "Beliau (Muhammad) yang sudah merencanakan pelarian," lanjut perempuan yang gemar menulis buku diari ini. Saat itu, sambung DN, Muhammad mengarahkannya lekas lapor ke Konsulat Jenderal RI di Johor Bahru.
**

Ngadu Ke BNP2TKI, Tapi Dicueki...
Bagai berjuang meloloskan diri dari medan perang, tiada pilihan lain bagi DN selain pulang di tengah malam gulita mengarungi samudera perbatasan. Berpacu dengan waktu, mengelak dari bidikkan petugas marine Polis Diraja Malaysia (PDRM).
SETELAH berjumpa dengan "Dewa Penolong" seorang kuli bangunan asal Indonesia, pelarian DN dari cengkeraman agen belum berjalan mulus. Ketika itu ia masih kebingungan mencari tumpangan agar bisa keluar dari seputaran Villa Ponderosa. Sewaktu tekadnya bulat hendak pergi, Mukari, seorang pemilik kantin yang ditemuinya bersama kontraktor villa tersebut, menyarankan supaya DN sementara menetap di kantin sampai situasinya benar-benar aman untuk pergi.
DN di Bandara Hang Nadim saat hendak dipulangkan oleh Ketum GAT Syamsul Rumangkang
Sejenak Mukari mencoba menghubungi temannya yang bertugas di PDRM (Polis Diraja Malaysia), juga kawan satunya lagi yang mengabdi di kantor Konsulat Jenderal RI di sana. Tapi, niat memudahkan DN mendapatkan pertolongan lebih lanjut, ternyata justru ibarat kaki menginjak kerikil tajam. Tak diduga sebelumnya, rupanya agen Acai dan agen Susan telah lebih duluan melaporkan perihal kaburnya DN. "Lari kemana pun pasti dapat, karena jaringan dia (Acai) banyak, termasuk preman-premannya di sana," ujar DN.
Berdasarkan bocoran informasi yang dihimpun Mukari, bahwa apabila DN melapor ke konsulat maka resikonya DN akan dikembalikan kepada agen, maka Mukari enggan mendorong DN mendatangi konsulat. Pungkasnya, dengan alasan keamanan dan keselamatan, DN sementara waktu tinggal di kantin itu. "Saya nggak jadi lapor konsul, daripada nanti dikembalikan ke agen jahat itu," gerutu DN. Agen jahat yang dimaksudnya adalah Acai. Yang tak terlupa olehnya, ialah pengalaman pahit dalam meminta bantuan agar bisa kembali ke pangkuan ibu pertiwi, Indonesia. "Keluarga saya sampai ngadu ke BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia), tapi sampai sekarang nggak ditanggapi. Padahal, melalui email yang dikirim sudah dijelaskan secara gamblang, bahwa saya dijual dari satu agen ke agen lainnya. Dalam keadaan sakit pun saya tak diizinkan pulang," keluh DN kepada POSMETRO.
Bahkan sebelum mengungsi ke kantin Mukari, DN sempat menghubungi temannya yang berada di Jakarta, minta tolong agar dikirimi uang Rp3 juta untuk biaya pulang ke tanah air. Tetapi, harapan tinggallah harapan, temannya di ibukota itu tiada kabar kepastian bisa membantu mentransver duit senominal itu. Akhirnya, salah seorang teman DN berusaha melaporkan hal ini ke pihak BNP2TKI, namun hanya menyisakan asa hampa.
Melalui seorang kawan DN, cerita kesedihan sarjana UI ini akhirnya sampai juga ke telinga para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Anti Trafficking (GAT) Kepulauan Riau. Tulisan soal nasib DN yang dikirim via email di website www.gerakanantitrafficking.com mengejutkan Syamsul Rumangkang, Ketua Umum GAT Kepri.
Per sambungan telpon, Senin (12/3) lalu, Syamsul mengontak korban, DN, sekaligus memastikan kebenaran kabar yang diterimanya. Tak pelak, hari itu telpon maupun SMS terus terkoneksi antara pukul 19.00 dan 21.00 waktu Malaysia, DN sedikit merasa ada angin segar untuk deritanya begitu mendengar kesanggupan Syamsul merespon kesulitan yang dihadapinya. Ia pun menuruti persyaratan Syamsul, yang memintanya agar mengirimkan data-data yang diperlukan.
Jam 11.20 waktu Malaysia, Kamis (15/3), DN mengirim pesan pendek melalui telepon seluler kepada Syamsul, sang pentolan GAT Kepri, berisi tentang kabar kondisi korban (DN) yang saat itu merasa terancam. DN berulangkali memohon agar secepatnya diselamatkan. Akhirnya, GAT mengutus tim penelusuran ke alamat yang disebutkan DN di Malaysia. Pukul 14.00 waktu setempat, komunikasi dengan DN kembali tersambung dan mereka menyepakati detik-detik evakuasi.
Sekitar pukul 15.00, DN upaya penjemputan dari kantin Mukari digarap. Perwakilan GAT lantas bergerak ke gate atau gerbang depan. Sayang, sempat menyita waktu lama mereka tiada bisa bertemu. DN lalu menghubungi tim GAT dan janjian berjumpa di pos sekuriti Ponderosa Green. Barulah sekitar pukul 18.45 berhasil dijemput dan langsung meluncur ke Ulu Tiram. "Mengingat korban (DN) saat itu harus diselamatkan dan takut untuk dibawa ke Konsulat Jenderal RI, akhirnya kami mencari jalur alternative melalui lintasan tidak resmi atau jalur belakang," singgung salah seorang aktivis GAT.
Pukul 22.00 waktu Malaysia, rombongan kecil ini bertolak menyusuri hutan belantara, bersembunyi sambil menunggu saat penyeberangan. Jumat (16/3) sekitar pukul 03.00 waktu setempat, mereka bergerak ke bibir pantai untuk membelah lautan dari Malaysia menuju Tanjungpinang, selanjutnya sekitar pukul 06.00 WIB putar haluan lagi tujuan Batam. Begitu sampai dengan selamat, DN menikmati istirahatnya di kediaman Syamsul. DN dalam perlindungan GAT dan LSM Embun Pelangi di Batam. "Saya putuskan mau pulang saja, kapok! Waktu pulang pun seperti suasana perang, menghindari kejaran polisi," kenang DN.
**

Mau Paspor? Tebuslah Rp20 Juta..
Mengambil kembali paspor miliknya, tidak semudah ketika dokumen keimigrasian ini diproses melalui jasa calo di Batam. Sudahlah upah Ringgit tak didapat, malah DN dimintai tebusan sebesar Rp20 juta oleh si agen.
USAI menyimak keterangan DN, aktivis LSM Gerakan Anti Trafficking (GAT) Kepri lalu mencoba membongkar jaringan sindikat para trafficker yang terlibat dalam penjualan DN, dari Batam ke Malaysia. Mulanya, melalui percakapan lewat ponsel, pelaku Acai dipancing supaya datang ke Batam dan menyerahkan dokumen korban, DN, ini ditempuh karena Acai mengajukan persyaratan uang tebusan Rp20 juta. "Katanya itu untuk ganti rugi biaya dokumen dan pelunasan hutang," sebut Syamsul Rumangkang, Ketua Umum GAT Kepri.
Kantor Imigrasi Kelas I khusus Batam
Beberapa kali komunikasi dengan Acai diupayakan, tapi seolah yang bersangkutan sudah mencium gelagat bakal dijebak. Acai pun bersikukuh ogah muncul di Batam. "Janjinya akan mengutus orang dia yang ada di Batam, untuk mengambil duitnya. Makanya mereka terus saja kami biarkan telponan dengan korban (DN). Sempat diajak bertemu depan Kampus Uniba, tetapi tak kunjung ada utusannya Acai yang nongol.
Padahal, dengan korban mereka sudah pastikan akan mengambil uangnya," ucap Deddy Ismantoro, Sekretaris Jenderal GAT Kepri. Yah, begitu menyimak detik kisah DN selama dalam cengkeraman agen di Malaysia, hingga akhirnya lolos dari bidikkan marine PDRM dan tiba di Batam dengan selamat, GAT yang juga tergabung dalam Tim Bidang Pencegahan Gugus Tugas Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kepri, semakin geregetan melacak sindikatnya.
Di dampingi beberapa orang aktivis GAT, DN baru-baru ini masih bisa mengontak Faisal alias Acai. POSMETRO berkesempatan mendengarkan obrolan DN di Batam dan Acai di Malaysia via ponsel, petikannya;
*
DN: Abang, gimana nih?
Acai: Pura-pura nanya engkau. Mampus kau yang kabur! Kabur kenapa?
DN: Kan aku bilang, aku bisa kasih uang ke kau.
Acai: Ya kasih uanglah..
DN: Bagaimana caranya, abang mau kemari kah (Batam)?
Acai: Kamu mau paspor kan? Kasih dulu (uang) baru ceritalah..
DN: Aku mau paspor dan barangku.
Acai: Kamu ketemu orang aku dulu. Engkau bawa uangnya? Berapa uang mau kasih?
DN: Abang minta berapa?
Acai: Aku sudah ngomong sama kau, aku maunya duapuluh juta (kurs rupiah). Ada duit dulu baru cerita yah, baru telepon. Uang sudah ada tinggal tanda-tangan, baru paspor.
DN: Tapi, bisa kan uang datang paspor datang?
Acai: Ngapa pula tak bisa datang? Kenapa kau kabur?
DN: Kan aku sudah bilang, aku sakit.
Acai: Janganlah kabur, ngomong baik-baik aku akan pulangkan engkau. Sudah berapa ramai orang-orang lain yang aku pulangkan. Kau yang tak bertanggungjawab, bukan aku yang tak tanggungjawab.
DN: Tapi bisa kan, uang aku beri lalu paspor kembalikan?
Acai: Paspor aku kasih, tak mau aku simpan barang kau! Tanyalah engkau, bukan aku.
DN: Kalau uangku sudah ada, pasporku kembali dan abang tak mengancam akan bunuh aku lagi, kan?
Acai: Ngapain aku membunuh engkau? Kau kasihkan uang itu sudah selesai. Nanti ada orang aku hubungi engkau.
*
Selang beberapa menit kemudian, suara seorang lelaki yang mengaku utusan Acai mengontak nomor hape yang dipakai DN tersebut. Hanya saja, pria dari balik gagang ponsel itu terus saja mengulur waktu bertemu di depan Kampus Uniba, Batamkota. Usai menyimak percakapan demi percakapan orang-orang yang dicurigai hendak memeras DN, para aktivis GAT akhirnya lekas mendatangi alamat rumah yang disulap menjadi tempat penampungan para calon TKW seperti DN, tepatnya di Perumahan Puri Legenda, Batamkota.
Kedatangan Ketua Umum GAT Kepri, Syamsul Rumangkang, siang itu, langsung disambut Marsini alias Ani, wanita yang sebelumnya dihubungi per telpon setelah nomor ponselnya diperoleh dari tangan DN. Tak ada senyuman, Ani dengan wajah penuh penasaran justru memperlihatkan wajah lesu. "Saya nggak mau ngomong apa-apa, nanti silahkan tanya suami saya saja," elaknya sambil berulangkali mengontak suaminya yang tengah di perjalanan pulang. "Cepetan datang, ini orangnya masih nunggu," katanya dengan nada ketus. Di salah satu kamar rumahnya, tampak ada beberapa orang calon TKW yang masih ditampung. "Sabar yah, suami saya sudah dari simpang lampu merah kok," sergahnya sambil duduk melantai di dekat pintu.
Setelah lama ditunggu, pria yang saat ditanyai mengaku bernama Krusuk, suami Ani, tiba di kediaman berlantai keramik putih dan berteras hamparan rumput lembut itu. Sayangnya, sama halnya dengan Ani, Krusuk juga enggan bicara banyak soal kasus yang menimpa DN.
"Yang mana satu yah anaknya? Atau sebentar lagi ada teman saya yang lebih tahu. Biar dia saja yang akan memberikan penjelasan," kilah lelaki berperawakan tinggi itu, sambil duduk bersila. Krusuk masih berkeringat dan nafasnya ngos-ngosan setelah menggeber motor, ngebut lantaran dikejar-kejar telpon Ani agar dirinya segera pulang. "Kita cuma jasa penjemputan di bandara saja, lalu dibelikan tiket dan antar ke pelabuhan," aku Krusuk.
**
Yang tipis justru lebih mahal
Tanpa prosedur, bisa memberangkatkan sedikitnya tiga orang calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia.
SUASANA obrolan yang awalnya berjalan setengah kaku, akhirnya mulai renyah setelah Putra alias Gondrong datang di kediaman yang dihuni pasangan Krusuk dan Marsini alias Ani, Perumahan Puri Legenda, Batamkota. "Dia (Ani) juga baru pulang dari Malaysia, baru empat bulan di sini," kata Krusuk mengenalkan istrinya yang mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Negeri Jiran.
Begitu orang yang ditunggu-tunggu telah tiba, Ani yang sedari Krusuk pulang langsung berpindah duduk lebih ke belakang mengarah ke dapur, buru-buru memasak air lalu menyuguhkan empat gelas teh manis untuk para tamunya. "Silahkan lebih terangnya ditanyakan sama bapak ini," sergah Krusuk sambil menoleh ke arah Gondrong, pria berambut gondrong terikat yang duduk bersila di samping kirinya.
Gondrong dengan pembawaan tenang dan kalem, berusaha menjawab semua lontaran pertanyaan yang diajukan Syamsul Rumangkang, Ketua Umum LSM Gerakan Anti Trafficking (GAT) Kepri. Menurut Gondrong, DN memang dalam pencarian agen Acai karena kabur dari tempat majikannya di wilayah Villa Ponderosa, Malaysia.
"Paspornya saya yakin seratus persen masih sama Acai, paling di rumah Acai disimpan," tegasnya. Hanya saja, tatkala disinggung tentang nasib DN yang terlunta-lunta dalam pelariannya di Malaysia serta merasa terancam keselamatannya, Gondrong yang mengklaim selaku penanggungjawab untuk urusan ini di Batam, pun kebingungan. "Kalau untuk paspornya saja, secepatnya bisa saya kembalikan. Saya segera minta ke Acai. Tapi kalau orangnya (DN).. (terdiam sebentar), itulah kami minta tolong bapak untuk solusinya. Kalau perlu berapa biayanya biar kita bayar," ungkap Gondrong meyakinkan.
Sejenak, Gondrong sibuk mengontak telpon Asep, salah seorang agen jaringannya di Jakarta. Namun, Asep melempar permasalahan tersebut supaya Gondrong berkoordinasi langsung dengan Acai di Malaysia. Sementara ponsel Gondrong asyik krang-kring krang-kring, Krusuk dan Ani cuma melongo terduduk lesu. "Kalau saya cuma jasa antar jemput sama menyediakan rumah ini saja," celetuk Krusuk disela Gondrong menelpon koleganya. Lalu, bagaimana lika-liku Gondrong dan kawan-kawannya bisa dengan mulus memberangkatkan DN, justru di saat moratorium atau waktu jeda pengiriman TKI ke Malaysia belum dicabut? Gondrong dan Krusuk sempat membisu. "Saya baru empat bulan jalani bisnis ini, seminggu kadang bisa tiga kali pengiriman," aku Gondrong lirih.
Ia tak menampik usahanya ini bisa lancar lantaran kongkalikong dengan oknum tertentu, termasuk melalui jasa percaloan di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Batam di Jalan Engku Puteri. "Kita nggak bisa pastikan, kadang ada yang 24, kadang ada yang 48," beber Gondrong menyinggung perihal jumlah lembaran dalam jilid buku paspor umum maupun khusus yang dibekalkannya kepada para calon TKI. Diakui Gondrong, cepat dan tidaknya proses pemberangkatan calon TKI sendiri, sangat tergantung dari penerbitan paspor.
"Kadang stok bukunya, kalau nggak ada yang 48 yah dibuatkan yang 24. Pokoknya tergantung stok buku," lanjutnya. Bagaimana pengawasan selanjutnya? "Nanti kalau sudah sampai di sana (Malaysia), itu tugasnya Asep dan Acai. Kita cuma jasa menjemput di bandara sama antar ke pelabuhan saja," ujarnya seraya menyebut Ferry International Batamcentre paling sering dijadikan sebagai jalur pemberangkatan calon TKI yang ditanganinya ke luar negeri.
"Biasanya yang mengantar ke kantor Imigrasi saya juga, lantaran rumah saya kan dekat di Ruli (rumah liar) Kampung Nanas, masuk dari jalan depan Suzuki Batamcentre sebelah Mitra Raya," ungkap dia. Gondrong menerangkan, sebelum membuka penampungan di Puri Legenda, dirinya sudah beroperasi di Kampung Nanas itu. "Kan karena kondisi nggak layak, jadi saya tampung mereka (calon TKI) di sini. Sekarang, dari sini (Puri Legenda) ke Imigrasi lalu menuju pelabuhan," paparnya.
Kendala teknis lainnya yang terkadang mengganjal pemberangkatan calon TKI yang diurusnya, yakni proses pembuatan dokumen. "Paspor kan kadang nggak langsung siap, tidak bikin hari ini lalu hari ini juga berangkat. Biaya paspor nggak tentu juga, kalau buku isi 48 kita kan serahkan ke calo gitu aja, kadang dua belas (Rp1,2 juta)," tutur Gondrong diamini Krusuk. "Kalau 24 lebih mahal, kadang enam belas (Rp1,6 juta) kadang lima belas (Rp1,5 juta).
Kalau yang tebal antara dua belas dan tiga belas (Rp1,3 juta), sedangkan yang tipis justru lebih tinggi, karena harus ada rekomendasi dari perusahaannya itu," ulasnya. Tiba-tiba Syamsul memotong pembicaraan, "Bagaimana jika terjadi sesuatu, apakah perusahaannya bertanggungjawab?" tanyanya kepada Gondrong.
Ditembak pertanyaan itu, Gondrong sempat beradu pandang dengan Krusuk yang sama-sama duduk bersila di sebelahnya, lalu setelah menghela nafas Gondrong pun menjawab, "Selama ini tidak terjadi sesuatu. Kita jalani kerja tiga bulan inilah, itupun lantaran kenal sama si Acai itu. Selama ini belum ada masalah, selama empat bulan ini," kilahnya. Gondrong mengakui, apa yang dilakoninya ini tidak lepas dari peranan para calo di Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Batam yang membantunya membikinkan paspor untuk calon TKI yang ditampungnya di Puri Legenda, bahkan sebelumnya di pemukiman liar Kampung Nanas, Batamkota.
Ia menyebut beberapa nama calo paspor yang menjadi langganannya selama ini, diantaranya berinisial Ha, Ta, Wo, dan sejumlah nama baru. "Kita tidak bisa langsung dengan pihak Imigrasi, tapi kita main calo-calo saja. Pengurusan yang di sini (Batam) saya, kalau di Malaysia si Acai," tukasnya. Seperti diketahui, dari "nyanyian" DN, paspornya dibikin dengan nomor antrian C/090, Kamis (9/2) pagi lalu.
**
Sakit pun Tetap Dipaksa Bekerja
Begitu pulang ke kampung halamannya, DN menenangkan diri di kaki gunung tempat kakeknya.
OBROLAN dengan Putra alias Gondrong, Krusuk, dan Marsini alias Ani di kediaman yang disulap mereka menjadi sebuah tempat penampungan calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI), Perumahan Puri Legenda, Batamkota, akhirnya berakhir menjelang sore hari. Namun, seperti janji Gondrong yang hendak merebut kembali paspor dari tangan Faisal alias Acai di Malaysia, nyatanya cuma tinggal isapan jembol belaka. Janji Gondrong tinggallah janji.
Beberapa hari berselang pasca limit waktu yang disanggupi Gondrong, nyatanya paspor tiada kunjung dikembalikan kepada si empunya, DN. Gondrong pun bak hilang ditelan bumi. Bahkan, baru-baru ini saat aktivis Gerakan Anti Trafficking (GAT) Kepri kembali menyambangi rumah di Puri Legenda itu, hanya disambut wajah murung Krusuk dan istrinya, Ani. "Maaf, bapak (Gondrong) tak bisa keluar habis magrib. Apalagi kalau habis hujan begini, jalan di tempatnya (Ruli Kampung Nanas) kan tahu sendirilah. Rumah beliau masih jauh masuk ke dalamnya lagi," beber Krusuk.
Baik Gondrong maupun Krusuk yakin keberadaan DN sudah di tanah air, Indonesia. Karenanya, mereka khususnya para agen yang selama ini memping-pong DN dari satu agen ke agen lainnya di Negeri Jiran, seolah cuci tangan dan ogah memikirkannya lagi. Tapi, lagi-lagi persoalan paspor yang masih disita Acai membuat Gondrong pun merasa dikejar-kejar janji dan tanggungjawabnya, juga seabrek masalah TKI yang ditanganinya. "Kemarin saya mendapatkan kabar dari ibu Yuli yang kebetulan saya temui di tempat agen Acai. Dia juga sakit. Saya fikir dia dipulangkan langsung ke kampungnya, ternyata diantar atau dibuang hanya sampai Batam, setelah uang dan tiga hapenya dirampas," cerita DN.
Derita Yuli memang tak separah DN. "Dia bisa pulang ke rumah karena kebetulan bertemu polisi yang istrinya juga orang Bandung. Ini adalah korban  juga. Pada waktu berangkat ke Malaysia, medical recordnya tidak disertakan oleh agen Lily, baru diserahkan tiga bulan kemudian dan ternyata unfit. Kalau tidak salah dengar dari Acai, ibu Yuli mengidap TBC. Pada waktu itu pun tetap dipaksa untuk terus bekerja, tetapi ibu Yuli berkeras pulang. Jadi hal macam itulah yang didapatnya," ungkap DN, sarjana jebolan Universitas Indonesia yang mengaku sempat menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi di Jakarta ini.
Ketika sudah dibantu dipulangkan ke kampung halamannya oleh Ketua Umum GAT Kepri, Syamsul Rumangkang, melalui Bandara Hang Nadim, selang beberapa hari DN mengirimkan pesan via ponsel. "Maaf, saya ingin tahu. Apakah kisah kita dimuat di POSMETRO? Kalau ya, berarti benar sudah terjadi kehebohan di Malaysia. Baru saja ada SMS dari agen Malaysia yang menyuruh saya membaca POSMETRO, 28 Maret 2012," ketiknya dalam SMS yang diforward Syamsul. DN mengaku lega bisa berkumpul dengan keluarga. Bahkan, kabar terbaru DN tengah menenangkan diri di pegunungan tempat sang kakek. Lantas, apa sih motivasinya ke luar negeri? "Habis ada masalah keluarga, lalu terbujuk iming-iming kerja bergaji besar. Suami di tempat kakeknya di Sukabumi," akunya menjawab POSMETRO.
Pengalaman pahit DN adalah bagian terkecil dari persoalan besar TKI di Malaysia, dan lagi-lagi karena longgarnya pengawasan aparat berwenang di pintu keluar yang mengakibatkan penguber Ringgit terus membanjir. "Kita tidak bisa biarkan hal seperti ini terus terjadi. Ini kebetulan menimpa seorang korban yang berlatar belakang pendidikan tinggi, lalu bagaimana dengan nasib korban-korban lainnya yang lebih awam lagi? Yang tidak mengerti cara mengirim pengaduan atau bernyali untuk mencari pertolongan di Malaysia," ujar Syamsul Rumangkang.
Ia juga menyinggung sual dicuekinya pengaduan kubu DN melalui email ke BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia), sehingga bertele-tele. "Apapun statusnya warga negara kita di sana (Malaysia), berhak mendapatkan perlindungan dari pemerintah RI. Kita bandingkan dengan negara Filipina yang begitu protektif terhadap warganya yang bekerja di luar negeri, dan dari data-data dan fakta kasus selama ini semestinya penegak hukum sudah harus bertindak tanpa menunggu korban-korban lainnya berjatuhan. Kami tunggu sikap tegas karena belum ada efek jera bagi para trafficker," sambungnya.
Syamsul menyayangkan ketidakjelian petugas dalam mengendus praktek nakal yang dilakoni Gondrong dan jaringannya. "Kita berharap, pemerintah segera melakukan pengawasan ketat terhadap PPTKIS (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta) yang masih melakukan pengiriman di masa moratorium ini. Karena dari penuturan Gondrong saja, ternyata mereka sudah empat bulan ini beroperasi. Padahal, moratorium sudah berjalan beberapa tahun. Perlu dicek kebenarannya, barangkali saja nama perusahaan yang dicatut justru tidak mengetahui hal tersebut. Aparat terkait harus mampu mencegah pengiriman secara ilegal," harap pentolan GAT yang juga anggota Bidang Pencegahan Gugus Tugas Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kepri.



1 komentar:

  1. Bingung mau ngapain? mendingan main games online bareng aku?
    cuman DP 20rbu aja kamu bisa dapatkan puluhan juta rupiah lohh?
    kamu bisa dapatkan promo promo yang lagi Hitzz
    yuu buruan segera daftarkan diri kamu
    Hanya di dewalotto
    Link alternatif :
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.com

    BalasHapus