Visi Kami

" AGAR HAK DAN MARTABAT MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH DIAKUI DAN DIHORMATI. "

Senin, 26 Desember 2011

Dimensi kontemplatif dan profetis hidup bhakti


WAWANHATI MGR. ALOYSIUS SUDARSO SCJ: USKUP PENGHUBUNG KOPTARI - KWI 
PADA KESEMPATAN SIDANG PLENO KOPTARI 16 OKTOBER 2011 DI SURABAYA

Catatan tentang dimensi kontemplatif dan profetis hidup bhakti di jaman ini.

Pertama saya ucapkan selamat berjumpa kepada seluruh peserta sidang Koptari dan terimakasih atas undangan untuk pertemuan Koptari 2011. Salam dan hormat dari para Uskup yang baru saja kembali dari Roma untuk Ad limina Visita Apostolorum bertemu dengan Bapa Suci Paus Benediktus XVI, dan menghadap beberapa Kongregasi dan Dewan Kepausan termasuk Kongregasi Hidup Bhakti. 
KOPTARI dalam pertemuan ini bersarasehan dari hati ke hati tentang dimensi kontemplatif dan profetis hidup bhakti pada jaman kita ini. Saya yakin bahwa para Suster, Bruder dan Romo, pemimpin Tarekat telah sangat merasakan pentingnya kedua dimensi itu dan melihat tantangannya ditengah tuntutan yang tidak mudah sekarang ini. 

1. Peran penting Tarekat hidup bhakti mempersiapkan Hierarki Gereja Indonesia.

Usia 50 th anugerah pengakuan berdirinya dan hadirnya Hierarki Gereja Indonesia tidak lepas dari keterlibatan besar misionaris yang dikirim oleh Tarekat Religius melalui persetujuan Propaganda Fide. Yang sangat mencolok adalah peran Tarekat Religius dari Belanda yang berbondong datang ke Indonesia. Mengapa pada waktu itu Gereja Katolik Belanda begitu misioner dan bersemangat mengirim begitu banyak misionaris ke Indonesia? Itulah pertanyaan yang muncul dalam diri saya. Sementara itu keadaan Tarekat Religius di Belanda saat ini, sedang dalam proses hilang dari peredaran. Para religius di Povinsi Induk di Belanda sudah menjadi amat tua dan tidak mempunyai calon muda untuk melanjutkannya. Melihat itu ada perasaan sedih dan bertanya “Adakah masa depan bagi hidup bhakti?” Dan bagaimana keadaan seperti ini menjadi bahan refleksi kita dalam konteks gereja Indonesia? 

De facto peran religius didalam gereja Indonesia sampai saat ini sungguh amat besar, bukan hanya didalam pelayanan pendidikan dan kesehatan ataupun sosial. Masih banyak keuskupan yang sangat tergantung pelayanan pastoralnya pada Tarekat-tarekat religius, bahkan beberapa Tarekat telah mengirim misionaris untuk membantu gereja se-dunia, atau menghadirkan gereja Indonesia di dunia luar. Namun tidak menutup mata akan adanya gejala menurunnya calon religius, mulai dari Kongregasi bruder, religius perempuan dan imam. 

PENURUNAN jumlah calon ini perlu diwaspadai dan diambil langkah-langkah baru yang terpadu. Masih juga tersitanya dengan masalah kelembagaan atau institusi yang menyebabkan sering hidup religius ada dalam bahaya menjauh dari misinya terutama pada dua dimensi yang menjadi permenungan saat ini yaitu dimensi “kontemplatip dan profetis dlm konteks jaman ini.” 

Menurut saya sudah saatnya gereja indonesia berefleksi bersama tentang hidup bhakti, masa depannya dalam konteks gereja Indonesia.

2. Diskusi yang muncul ttg hidup bhakti dewasa ini.

Ada yang mengeluh bahwa hidup religius dalam tradisi gereja di Asia terkesan terlalu dilihat sebagai karisma pelayanan. Tentu saja orientasi ini membuat orang seakan mengenal komunitas hidup bhakti terlebih dari apa yang mereka buat. Tidak heran bahwa cara memandang ini mengakibatkan begitu banyak religius berbeban dengan over kerja dan kesibukan. Segi ketrampilan, keahlian dalam berbagai hal praktis, profesionalitas sangat menjadi tuntutan utama. 

Sementara itu kehausan umat akan uskup, imam dan religius yang dapat menyentuh hidup batin terdalam sungguh terasa disana sini. Menemukan imam yang seimbang dalam memenuhi kebutuhan rohani yang terungkap dalam sentuhan pelayanan dan kerasulan, inilah yang dirindukan umat pada umumnya. 

Apakah benar bahwa orientasi ini menyebabkan kurangnya perhatian pada dimensi kontempaltif pada hidup religius dan hidup menggereja pada umumnya? Apakah ini yang menyebabkan hidup religius menjadi cenderung institusional demi pelayanan lebih baik pada umat/masyarakat lewat karya-karya kita ( pendidikan, kesehatan, dan pusat-pusat pelatihan, dsb). Akibatnya juga hidup religius bisa mudah terafeksi oleh budaya tehnik yang mengutamakan fungsi kerja dari pada relasi personal. Hal seperti ini dapat menjangkiti semangat hidup bhakti. 

Lebih dari itu gaya hidup yang lebih kharismatis bisa menjadi lebih hierarkis dan bahkan clerikal. Kita melihat religius priya non imam yang semakin menurun jumlahnya. Apalagi para bruder ditengah Tarekat Imam semakin jauh berkurang peminatnya. 

Padahal kehadiran para religius priya bukan imam sangat memberikan tanda kehadiran hidup religius yang sesungguhnya yang dapat mengingatkan para imam religius pada kedalaman religiositasnya. 

3. Dimensi Kontemplatif dan Profetis hidup religius.

Memasuki jaman ini hidup religius harus lebih memperhatikan interioritas atau kedalaman yaitu memberikan tekanan baru pada dimensi hidup kontemplatif. Artinya menemukan secara kreatif kehadiran Tuhan dan RohNya, serta hidup dan bertindak sesuai dengan itu. Dengan memperhatikan ini maka kecenderungan pada aktivisme akan dijauhkan dan penyelesaian masalah tidak pada pada segi organisasi atau institusional saja. Dan dengan melihat permasalahan dasar pada kurangnya perhatian dalam kedalaman hidup sebagai religius dan mencari pengalaman akan Allah, maka pembaharuan hidup religius akan kurang kena pada sasarannya.

Didalam kondisi masyarakat yang semakin sekular ini hidup religius mempunyai tugas memberi kesaksian bahwa hanya melalui kontemplasi belarasa, persaudaraan, dan menerima orang lain sebagai sesama akan mengalir. Bahkan dari semangat kontempasi itu dialog dengan pluralitas dan gerakan ekumenis akan tumbuh.

Ada keyakinan bahwa krisis panggilan religius dewasa ini bukan pertama berkaitan dengan kurang panggilan melainkan ada hubungannya dengan menurunnya kepedulian pada spiritualitas dan sinyifikansinya.

Harapannya bahwa pergeseran hidup religius dari tekanan pada karisma pelayanan kepada mengutamakan kesaksian pengalaman akan Allah akan dapat lebih membawa perubahan kreatif dalam kesaksian hidup bhakti jaman ini. Misalnya dalam promosi panggilan akan berubah. Seleksi juga akan berfokus lebih pada sikap terdalam dari motivasii hidup religius untuk menjadi pribadi yang kontemplatif ( mencari Tuhan dan kerinduan untuk mengalamiNya dan berelasi denganNya).

Demikian juga akan lebih mengarahkan religius dalam mencari pengalaman akan Tuhan dan membatinkan nilai-nilai kerajaan Allah “keadilan, kasih dan damai” kedalam hidup nyata.

Maka fokus hidup membiara akan terletak pada perubahan diri pribadi kedalam Kristus yang diikutinya.

Menurut beberapa pendapat pergeseran ini akan membantu hidup religius lebih diorientasikan pada pribadi-pribadi dan relasi antar pribadi. Karya, jabatan akan menjadi nomor berikutnya. Dan spiritualitas hubungan pribadi akan mengemuka dalam hidup. Maka sukacita hidup sebagai religius akan lebih terungkap tanpa tergantung pada fungsi dan kerja.

Demikian juga akan lebih mudah orang dipindahkan dari satu tugas ke tugas lain.

Dan bagaimana dengan kaul-kaul? Akan menjadi sarana kebebasan dalam membangun relasi dan mengalami Allah yang hidup dan berkarya melalui dirinya.

Demikian pula kaul yang dihayati secara baru dapat menjadi ungkapan yang menunjukkan akan nilai yang sesungguhnya dari Harta, Kekuasaan dan sexualitas.

Dengan kesaksiannya religius dpt menghadirkan kesaksian hidup kristiani yang dapat menyadarkan sesama bahwa hidup manusia tidak bisa direndahkan dengan dijadikan konsumsi keserakahan maupun permainan kekuasaan. Maka kaul kemiskinan dan selibat dapat menjadi budaya tandingan terhadap kondisi dunia kita yang serakah dan tak menghargai kehidupan, dan hidup yang jauh dari kesetiaan.

Kaul-kaul yang dihidupi seperti itu akan menjadi ungkapan kenabian sekaligus waking call bagi gereja.

4. Akhir kata

Hidup reliigius adalah perpadatan hidup menggereja dan juga cermin hidup menggereja. Melihat kondisi jaman ini sudah selayaknya gereja Indonesia ( uskup, religius dan awam) berefleksi bersama ttg peran hidup bhakti untuk menemukan jalan-jalan dan way out pastoral demi pembaharuan gereja di Indonesia. Tentu saja terutama untuk berefleksi ttg kehadiran religiud dan menghadapi tantangan gereja ditengah pergulatan bangsa kita.


Terimakasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar