Visi Kami

" AGAR HAK DAN MARTABAT MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH DIAKUI DAN DIHORMATI. "

Selasa, 27 Desember 2011

Menjadi Mistik Dan Nabi


PENDEKATAN KRITIS TEMA SIDANG PLENO
Oleh : Rm. Sad Budianto, CM

PANGGILAN RELIGIUS UNTUK MENJADI MISTIK DAN NABI

1. PENGANTAR

Ulasan saya ini lebih berfokus pada “menjadi nabi” karena pengandaian bahwa menjadi mistik sudah lebih didalami dalam rekoleksi. Selain itu panggilan kenabian mengandaikan hidup mistik(dekat dengan Allah), karena tanpa kedekatan dengan Allah nabi hanya akan menyampaikan suaranya sendiri atau suara orang yang membayarnya. 
Kita akan mulai dengan melihat pengertian dan fenomen kenabian dalam Kitab Suci kita dan menyimpulkan pengertian pokoknya. Kemudian kita akan melihat kenabian yang dibutuhkan dewasa ini berdasarkan masalah pokok masyarakat dewasa ini. Lalu mengusulkan tiga tindakan kenabian yang dapat kita usahakan. 

2. PENGERTIAN DAN FENOMEN KENABIAN

Nabi adalah orang yang dipanggil dan diutus Tuhan untuk mewartakan Sabda Allah dan dengan itu menjadi penyambung lidahNya[1]. Fenomen kenabian dalam bangsa Israel berbeda dengan di luar Israel, terutama dalam hal kedekatannya dan kehangatan relasi mereka dengan Tuhan. Bisa dikatakan mereka ini senantiasa dikuasai oleh sabda Tuhan dan digerakkan oleh Roh Nya.[2] Dalam arti ini maka seorang nabi sejati sekaligus adalah seorang mistikus, orang yang dekat dengan Allah. Nabi yang bukan mistikus pastilah nabi palsu yang menyampaikan pikirannya sendiri atau orang yang membayarnya.[3] Dalam sejarah Israel pada jaman kerajaan memang nabi menjadi profesi semacam penasehat raja. Di antara mereka memang ada yang yang hanya menjalankan profesinya tak jarang hanya untuk menyenangkan raja, namun juga ada nabi sejati yang menyuarakan pesan Tuhan kepada raja, seperti yang terkenal yaitu Natan pada jaman Daud. Dia menyampaikan antara lain tentang kekekalan wangsa Daud, tentang pembangunan rumah Tuhan (2 Sam 7), dan tentu saja yang paling terkenal –juga keindahan dan kekuatannya- tegurannya kepada Daud yang mengambil isteri Uria panglimanya yang setia dengan membunuh suaminya itu (2 Sam 12:1-14). 

Dalam arti tegas kenabian sering dibatasi pada para nabi penulis yang berkarya pada jaman kerajaan, pembuangan dan sesudah pembuangan. Namun kata nabi juga digunakan untuk Abraham yang berdoa bagi Abimelekh (Kej 20:17), dan terutama untuk Musa yang disebut sangat istimewa kedekatanNya dengan Tuhan, bahkan Tuhan sendiri berbicara berhadap-hadapan dengan dia (Bil 12:8), juga karena berkali ia menjadi pengantara berdoa bagi umat. Termasuk salah satu ciri kenabian dalah berdoa bagi umat atau menjadi perantara umat dalam doa.[4]

Tokoh istimewa sebelum nabi penulis adalah Samuel. Ia dipanggil oleh Tuhan pada “masa firman Tuhan jarang dan penglihatan-penglihatan pun tidak sering” (1Sam 3:1). Sejak panggilan itu Tuhan selalu menyertai Samuel dan ia “tidak membiarkan satu firman Nya pun gugur” (3:19 bdk 2 Raj 10:10) artinya Samuel sangat setia melaksanakan dan menyampaikan sabda Tuhan. Setelah itu pada jaman kerajaan kita telah melihat di atas ada nabi Natan pada jaman Raja Daud. 

Para nabi penulis – disebut demikian bukan berarti mereka sendiri yang menulis- namun hidup dan sabda Tuhan melalui mereka dituliskan dalam kumpulan Kitab-kitab Kenabian seperti Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Amos, Hosea dll. Mereka ini dipanggil Tuhan untuk menyampaikan sabdanya kepada bangsanya termasuk para pemimpin dan rajanya. Mereka menyampaikan sabda Tuhan dengan lantang dan kebanyakan dengan nada keras untuk mengoreksi kehidupan bangsanya karena kurang setia kepada Tuhan yang seringkali juga diikuti ketidaksetiaan terutama dalam bentuk ketidakadilan dan penindasan kepada sesama. Mereka juga mengecam ibadat palsu karena tidak disertai berbuat kasih kepada sesamanya terutama yang paling miskin dan terlantar. Selain berbicara mereka juga menyampaikan sabda Tuhan lewat perbuatan tanda dengan hidupnya sendiri sesuai dengan perintah Tuhan. Demikian Hosea diminta Tuhan menikahi perempuan sundal untuk menunjukkan ketidaksetiaan Israel kepada Tuhan. 

Para nabi tentu saja pertama-tama adalah orang yang merasakan dan menanggapi panggilan Tuhan baginya( Am 7:15; Yes 6:1-11; Yer 1:4-19; Yeh 1:1-3:15). Suatu panggilan yang menantang, namun sekaligus menarik karena kedekatan pergaulan mereka dengan Allah sendiri. Pergaulan itu sungguh manusiawi, sering sangat emosional juga (Yer 12:1-4;15:10-18). Dari kedekatan pergaulan dengan Allah itu mereka ditarik untuk menjadi sehati dan sekeprihatinan dengan Allah dan karena itu berani mengungkapkan keprihatinan itu walau sering dengan resiko ditolak, dikucilkan, dianiaya, bahkan dibunuh. Namun mereka berani menghadapi semua itu demi menyuarakan suara Tuhan yang dibutuhkan oleh manusia. “Dan baik mereka mendengarkan atau tidak- sebab mereka adalah kaum pemberontak- mereka akan mengetahui bahwa seorang nabi ada di tengah-tengah mereka” (Yeh 2:5 bdk 33:33) 

Kedekatan pergaulan dengan Allah tidak membuat seorang nabi menyingkiri dunia, namun sebaliknya karena kedekatan itulah mereka bersama Allah dapat masuk ke jantung permasalahan umat manusia, bangsanya. Seorang nabi sangat mengasihi bangsanya. Mereka sering kali menangis karena ketegaran dan kebebalan hati umat manusia yang sering mencelakakan diri atau menggali lubang kuburnya sendiri “karena engkau tidak mengetahui saat, bilamana Allah melawat engkau” (bdk. Luk 19:41-44) 

Bagi nabi, Allah adalah Allah yang peduli dan terlibat dengan hidup manusia. Allah adalah Tuhan dari sejarah, sang Penyelenggara ilahi. Dia begitu dikuasai oleh Roh Allah yang begitu mengasihi umat manusia(Yoh:16-17) untuk menyerukan kebenaran, kecaman dan ancaman bila mereka tidak bertobat. Dikuasai Roh yang demikian itu kadang begitu menakutkan karena harus menentang bangsanya yang keliru dengan akibat dikucilkan, dianiaya, bahkan dibunuh. “Tetapi apabila aku berpikir: ‘Aku tidak mau mengingat Dia dan tidak mau mengucapkan firman lagi demi namaNya’, maka dalam hatiku ada sesuatu yang seperti api yang menyala-nyala terkurung dalam tulang-tulangku; aku berlelah-lelah untuk menahannya, tetapi aku tidak sanggup” (Yer 20: 9; bdk. Luk 22: 41-44). Tentu saja para nabi tidak hanya mengecam dan mengancam, namun juga menghibur dan memberi harapan tatkala umat putus asa. Sabda pengharapan ini banyak kita jumpai pada nabi Deutero dan Trito Yesaya yang berkarya pada Jaman Pembuangan dan sesudahnya (Yes 40-66). Mengimani Allah yang demikian itu maka kelirulah kalau orang menyingkir dari dunia ini untuk mencapai kekudusan (kesatuan dengan Allah). Kekudusan yang ditunjukkan para nabi adalah kekudusan yang terlibat dalam dunia, dalam suka duka hidup manusia (Yer 15:16-17, bdk GS 1). Hidup para nabi menunjukkan bahwa bersama Allah kita akan dapat membaca tanda-tanda jaman dengan tepat, serta menyerukan suara Tuhan, jalan kebenaran yang membawa keselamatan bagi umat manusia. 

Hal lain yang sering kurang disoroti dalam membahas kenabian adalah soal murid-murid atau pewaris mereka, padahal fenomen ini nyata dalam Kitab Suci. Musa diminta Tuhan untuk memilih 70 orang yang akan dicurahi sebagian Roh yang dicurahkan Tuhan pada Musa agar dapat ikut memikul tanggungjawab bersamanya. Berbeda dengan sikap Yosua muridnya, Musa malah menginginkan seluruh umat menjadi nabi (Bil 11:16-17, 24-29), Elia mewariskan rohnya kepada Elisa (2Raj 2), Yesaya menyebut murid-muridnya (8:16). Yesus juga memilih orang untuk menjadi rasul-rasulnya. 

3. KARAKTER KENABIAN 

Setelah kita mengamati fenomen kenabian dalam Kitab Suci kita, kiranya perlu kita menarik beberapa kesimpulan: 

3.1.Para Nabi adalah orang yang dipanggil oleh Allah yang begitu mengasihi dunia dan dikuasai oleh roh kasih Allah untuk menyuarakan sabda Allah bagi keselamatan umat manusia. Dalam arti ini mereka adalah seorang mistikus, seorang yang dibakar oleh nyala kasih Allah. 

3.2.Sabda Allah itu menanggapi situasi konkrit yang dialami umat: kecaman dan ancaman ketika mereka sesat, penghiburan dan pengharapan ketika mereka putus asa. Pesan utama nabi adalah agar umat manusia kembali kepada Allah yang menghendaki mereka bertindak benar dan kasih kepada sesama. Melalaikan Allah membuat mereka mengabaikan keselamatan bagi dirinya dan sesama. 

3.3.Nabi menyampaikannya dengan berbagai cara sesuai dengan keadaan jaman: ada yang menjadi pemimpin (Abraham dan terutama Musa) ada yang menjadi penasehat raja, ada yang berseru-seru di pasar (tempat ramai), mendatangi raja dan menyampaikan teguran Tuhan, perbuatan tanda, bahkan dengan hidupnya: Hosea mengawini perempuan sundal (Hos 1-3), Yeremiah membeli tanah (Yer 32) dan selibat (Yer 16:1-9), menderita sakit (Yeh 3:25; 4:4-8). Mereka menghayati itu sebagai tanda kehadiran Allah yang hidup(Elia) dan mahakudus (Yes)[5]

3.4.Nabi tidak menginginkan kuasa kenabian hanya pada diri mereka, malah mereka berharap semua umat menjadi nabi. Paling sedikit mereka peduli untuk mewariskan semangat mereka kepada para muridnya, dan bila Tuhan berkenan juga mencurahkan Roh yang sama kepada penerusnya. “Tidak cukup bagiku mengasihi Tuhan bila sesamaku belum mengasihiNya” (Santo Vinsensius). 

Setelah memahami fenomen kenabian menurut Kitab Suci, bagaimana kita menerapkan kenabian dalam dunia dewasa ini? 

4. KENABIAN DEWASA INI 

Seperti telah kita lihat diatas kenabian merupakan suara Tuhan untuk menanggapi permasalahan masyarakat pada jamannya untuk memperbaikinya. Dalam arti tertentu nabi memimpin manusia untuk kembali kepada Tuhan, ke jalan yang benar. Merenungkan kenabian dewasa ini kita harus mulai dengan melihat apa permasalahan mendasar bangsa kita dewasa ini. Setiap tahun KWI menerbitkan Nota Pastoral nya untuk menyoroti permasalahan bangsa ini dan mengajak kita untuk menanggapinya. Anda dapat membaca dan menanggapinya. Namun saya ingin mengajak anda untuk melihat permasalahan masyarakat secara lebih mendasar, yakni manusianya. Dan sehubungan dengan itu tak cukup kita hanya merencanakan kegiatan kenabian, namun bagaimana kita sendiri dan anggota kita menghayati menjadi nabi itu. 

Robert K Greenleaf pencetus Servant Leadership menantang lembaga religius dengan beberapa pertanyaan mendasar: 

(1) Mungkinkah lembaga-lembaga religius mempunyai orang-orang yang dapat memimpin lembaganya untuk menjadi unsur yang lebih konstruktif bagi pembangunan masyarakat yang baik? 

(2)Dapatkah suatu visi yang baru, dirumuskan secara menarik, profetis, melahirkan iman yang dibutuhkan oleh mereka yang berpotensi memimpin untuk berani menanggung resiko, membangun kekuatan, dan membuat usaha baru yang lebih tegas dalam memimpin? 

(3)Dapatkah kita membangun bentuk-bentuk baru dari kepemimpinan religius yang diterima oleh masyarakat dewasa ini sebagai realistis dan berguna? 

Mungkin dibutuhkan bahasa yang baru, konsep yang baru, ketrampilan baru. Untuk itu kita perlu mendefinisikan kembali arti: roh, memimpin, religius. 

ROH seringkali dimaksudkan sebagai prinsip hidup atau kekuatan yang menghidupkan dalam diri mahluk hidup. Namun definisi itu belum ada dimensi nilainya, perlu definisi yang lebih mengena: Roh adalah kekuatan hidup yang mendorong orang untuk melayani orang lain. (bdk.Luk 4:18). Rohaniwan, refleksi teologis, buah kontemplasi yang tidak menggerakkan manusia yang berkarya di dunia dengan semangat melayani tidak ada gunanya (bdk. Mat 25:40; Yak ; 1Yoh 4:19-21). 

MEMIMPIN adalah berjalan di depan untuk menunjukkan jalan/arah. Bukan sekedar berjalan di depan parade yang sudah tertentu arahnya (mapan), namun khususnya pada saat arah itu tidak jelas atau jalan itu berbahaya. Karena itu memimpin berarti berani ambil resiko, berani mencoba 

RELIGIUS berarti mengikat kembali, mengembalikan pada Tuhan/jalan yang benar, mengutuhkan, menyembuhkan. Dari apa? Kesesatan atau keterasingan, terutama ketidakpedulian orang/lembaga pada sesamanya manusia. Orang/lembaga dewasa ini tidak tergerak untuk melayani manusia. Walau mereka sebenarnya mampu, sering mereka tidak mau memberi suatu yang konstruktif, peran yang mendukung masyarakat. Mungkin karena mereka ini tidak fokus pada misinya tersebut , tidak mendengarkan suara rohnya. Jadi religius sebenarnya adalah segala pengaruh atau tindakan yang mengikat/mengutuhkan/memperbaiki kembali orang-orang yang terasing tersebut menjadi peduli, melayani, konstruktif. Membimbing mereka untuk membangun dan melaksanakan lembaga pelayanan. Melindungi orang dari keterasingan yang membahayakan dan memberi tujuan dan makna hidup mereka. Maka Kepemimpinan Religius adalah tindakan untuk menyembuhkan atau melindungi orang dari penyakit: Keterasingan/ketidakpedulian yang tersebar luas di segala sektor masyarakat (1) dan Ketidakmampuan atau keengganan sekian banyak lembaga untuk melayani (2) Kedua penyakit itu saling berhubungan. Ujian bagi kepemimpinan religius adalah efektivitasnya menyembuhkan atau melindungi umat manusia dari dua penyakit itu.[6]

Kita merasakan sendiri bagaimana perusahaan-perusahaan dewasa ini hanya melihat karyawannya sebagai sarana ekonomi dan tak mau bertanggungjawab atas kehidupan mereka sebagai manusia, antara lain lewat lembaga out-sourcing. Kita melihat juga kurangnya kepedulian pemerintah kepada rakyatnya terutama yang lemah dan miskin. Saya mengusulkan 3 tindak kenabian untuk menanggapi masalah mendasar masyarakat kita dewasa ini. Pertama, pembaharuan diri untuk menjadi pemimpin pelayan. Kedua, memberi perhatian pada kerasulan kaum muda demi membina mereka menjadi pemimpin pelayan. Ketiga, membangun komunitas basis demi kesejahteraan anggotanya. 


5. PEMBAHARUAN DIRI UNTUK MENJADI PEMIMPIN PELAYAN 

Mengapa anda mau memimpin? Mungkin banyak yang mengatakan: ya karena dipilih, sebenarnya kalau bisa juga nggak mau. Tapi semoga dalam perjalan waktu anda menyadari bahwa Tuhan memilih anda menjadi pemimpin untuk melayani. Lain dengan orang yang pertama-tama mau memimpin, mau menguasai, orang yang mau melayani memperhatikan dan mengusahakan agar kebutuhan utama orang lain terpenuhi. Karena itu setiap kali anda perlu bertanya: 

l Apakah yang saya layani tumbuh sebagai pribadi? 

l Apakah mereka menjadi lebih sehat, lebih bijaksana, lebih bebas, lebih mandiri, dan kemudian siap untuk melayani? 

l Apakah pengaruh kepemimpinan saya bagi warga yang paling lemah? Apakah mereka diuntungkan, atau sedikitnya tidak semakin terpuruk? 


Apa yang harus saya lakukan untuk membaharui diri menjadi pemimpin pelayan? Greenleaf menyebut beberapa karakter pemimpin pelayan[7]

5.1.Mau mendengarkan dan memahami 

Banyak persoalan muncul karena orang tak mau mendengarkan. Dan sebaliknya banyak persoalan dapat diselesaikan dengan mendengarkan dan memahami. Mendengarkan dengan baik memberi kekuatan pada yang didengarkan. Itulah sebabnya banyak orang yang didengarkan menjadi kuat untuk menghadapi dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Mendengarkan sering juga membawa penyembuhan bagi yang didengarkan maupun yang mendengarkan. Untuk mendengarkan dengan baik dibutuhkan disiplin diri terus menerus, sampai kita secara otomatis menanggapi masalah dengan pertama-tama mendengarkan. Untuk mendengarkan dengan baik orang tak boleh takut untuk hening. Dalam dunia dewasa ini hening bisa terasa menakutkan, namun kalau dibiasakan akan justru akan membuat suasana santai yang penting untuk dapat bicara tulus dan jujur. 

5.2.Sering retret dan reorientasi diri 

Retret sangat penting pertama-tama untuk melihat dunia ini bersama dengan Allah. Merasa bahagia sekaligus prihatin bersama Dia. Retret juga perlu untuk menyadarkan bahwa kita bukan pusat dunia ini (tarekat kita), tapi Tuhan. Karena itu retret perlu menjadi jadwal rutin yang sering kita lakukan sebagai religius. Selain itu dan reorientasi diri sangat penting agar kita dapat mengambil jarak dan melihat persoalan dengan jernih, membedakan yang lebih penting daripada yang kurang penting walau kelihatannya mendesak. Retret juga penting untuk mawas diri, tidak gampang melihat persoalan pada orang lain atau di luar diri, berani mengambil tanggungjawab. Tentu sebagai religius ini semua dapat kita lakukan karena yakin Tuhan menyertai kita, dan bersamaNya selalu bertanya: “bagaimana saya dapat melayani lebih baik lagi”. 

5.3.Mau menerima dan berempati 

Tak ada orang yang sempurna. Kita perlu menerima dan berempati dengan orang yang kita layani agar mereka merasa “at home” dan berharga. Bahkan orang yang kacau, malas, kurang dewasa dapat mengabdi dan melakukan tindakan besar jika dihargai dan dipimpin dengan bijaksana. 

5.4.Berani melihat kenyataan apa adanya 

Tak mudah bagi kita untuk melihat persoalan apa adanya. Prasangka, luka batin, ketakutan kita sering menjadi saringan yang menghambat kita melihat apa adanya. Karena kenyataan menantang kita untuk menanggapi. Memupuk kesadaran kita bersama Allah akan membuat kita berani untuk melihat kenyataan diri, sesama dan lingkungan dan menanggapinya dengan penuh tanggungjawab. 

5.5.Meyakinkan dan mengajak – bila perlu seorang demi seorang 

Memerintah itu gampang, tapi bila kita ingin menumbuhkan anggota kita, jangan memaksa atau membiasakan mereka menjadi robot. Usahakan mereka bertindak sungguh dari keyakinan. Itu yang akan membuat mereka bekerja dengan senang, kreatif, dan pada gilirannya juga menularkan keyakinan itu pada sesama. Memaksakan kehendak anda pada gilirannya juga akan melahirkan pemaksa kehendak. Anda tak bisa memperbaiki lembaga karya anda, tanpa memperbaiki sikap anda pada anggota anda yang berkarya disitu. 

5.6.Membangun komunitas 

Hanya komunitas yang mampu memberi kasih yang menyembuhkan dan mengutuhkan manusia. Karena hanya komunitaslah yang mampu mengasihi anggotanya seutuhnya tanpa batas seperti keluarga. Perusahaan dan lembaga lain dewasa ini seringkali membatasi tanggungjawabnya sesuai dengan namanya Ltd (Limited). Kita masih akan mendalami hal ini pada tindakan kenabian ke tiga di bawah. 


6. PERHATIAN PADA PASTORAL KAUM MUDA 

Stephen Covey menunjukkan bagaimana anak anak yang apatis dan berpotensi merusak dapat menjadi anak baik yang berkontribusi pada masyarakat ketika disadarkan dengan diberi peran dan dibimbing. [8] Seorang kepala sekolah ini menangkap dengan jitu permasalahan manusia dewasa ini: “Saya sangat meyakini bahwa bentuk pencurian identitas yang paling berbahaya dalam masyarakat masa kini bukanlah apa yang tengah terjadi pada ekonomi kita, melainkan apa yang tengah terjadi pada kaum muda. Agar terkesan “keren” mereka harus bersikap dengan gaya tertentu. Agar terkesan “hot” mereka mengenakan mode tertentu atau bergaul dengan kelompok tertentu. Beberapa di antara mereka dinilai hanya dari angka ujian mereka.”[9]

Saya punya keyakinan masalah paling mendasar dari bangsa kita adalah soal pembangunan manusianya, terutama kaum muda. Dan kita belum berbuat cukup banyak untuk ini, walaupun kita punya banyak lembaga pendidikan. Banyak pembicaraan kita tentang lembaga pendidikan di dominasi oleh masalah ekonomi. Mungkin masalah ini tak selalu muncul secara eksplisit dalam pertemuan kita, tapi bahwa masalah ekonomi cukup dominan tampak antara lain dari: suasana persaingan antar sekolah katolik, kurangnya keberanian berinovasi dengan alasan ekonomi, sikap dan kata-kata yang kurang simpatik pada golongan ekonomi lemah dalam penerimaan murid baru, sikap kita terhadap guru dan karyawan. Saya yakin kita perlu bersinergi saling mendukung antar sekolah katolik, juga antara sekolah dengan Gereja (paroki maupun keuskupan) baik dalam soal perkembangan pendidikan, maupun dalam soal ekonomi. Jika kita mau duduk bersama dalam Tuhan saya yakin tak ada masalah yang tak bisa dipecahkan dengan baik. Dan dengan demikian peran kenabian kita bersama akan semakin memancar menghadapi tantangan jaman.[10]

Bukan hanya dalam lembaga pendidikan formal yang kita miliki. Kita perlu mendekati kaum muda di medan pastoral lain di paroki, kampus dan sekolah-sekolah non katolik untuk menampakkan pangilan kenabian kita. Kita melihat semakin sedikit kaum religius yang terlibat dalam kegiatan pastoral paroki. Demikian pula banyak KMK (Keluarga Mahasiswa Katolik) mengalami kesulitan untuk mendapatkan pembina, apalagi pendamping religius yang bersedia menemani mereka dalam kegiatan sehari-hari. Memang kita tak boleh eksklusif mendampingi kaum muda, namun kaum muda dan anak-anak sering menjadi jalan untuk mendekati dan mendampingi orang-tuanya – peluang yang mungkin sering kurang kita lihat dan manfaatkan. Beberapa kelompok yang mendampingi orang miskin di perkampungan meneguhkan hal ini. Jika masyarakat melihat kita penuh kasih dan perhatian pada anak-anak mereka, kita juga menawan hati orang tuanya[11]

Apa yang perlu kita ajarkan pada kaum muda? Stephen Covey membantu kita dengan Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif. Kebiasaan ini terbukti dapat dilakukan dan sangat berguna mulai anak-anak. Tentu saja kita sendiri harus lebih dahulu melaksanakannya. 


KEMENANGAN PRIBADI 

6.1.Jadilah proaktif 

Manusia adalah mahluk yang tanggap terhadap apa dan siapa yang dihadapinya. Namun tanggapan itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan bebas sesuai dengan visi dan misinya. Visi dan misi diperoleh jika manusia memahami dirinya sendiri. Hanya dengan demikian manusia akan hidup dari dalam ke luar, dan menjadi proaktif, tidak begitu saja reaktif. Orang yang reaktif hidup tanpa tujuan atau visi misi yang jelas. Hidupnya ditentukan oleh apa saja atau siapa saja yang menarik baginya. Itulah sebabnya kita harus membiasakan hidup proaktif, bukan reaktif. 

6.2.Selalu mulai dengan tujuan 

Sikap proaktif mendukung kebiasaan untuk selalu bertindak berdasarkan tujuan hidup kita. Kita menemukan tujuan, visi-misi atau panggilan kita jika tahu mengintegrasikan gairah, bakat, kebutuhan, nurani dalam hidup kita. Membiasakan diri untuk berpikir, merasa, berkata, dan bertindak berdasarkan tujuan akan membuat hidup kita menjadi efektif. Kita tidak dipermainkan perasaan(emosi) atau pikiran sesaat yang membuat kita terombang-ambing tanpa tujuan dalam hidup ini. 


6.3.Mendahulukan yang utama 

Setiap hari kita dipenuhi begitu banyak kesibukan. Kalau mau jujur sebenarnya kita tak mungkin mampu memenuhi semua kegiatan itu. Maka kita harus memilih mulai dari kegiatan yang sungguh penting, baru kemudian yang kurang penting dan seterusnya. Sikap ini harus kita biasakan dalam hidup sehari-hari dengan disiplin. Disiplin bukan hanya demi keteraturan hidup, tapi demi mencapai tujuan hidup. 


KEMENANGAN PUBLIK 

6.4.Berpikir Menang-Menang 

Hidup ini cukup berlimpah bagi semua orang. Karena itu kita tak perlu bersaing. Sebaliknya kita harus saling mendukung dan mengembangkan. Kesepakatan kita harus adil bagi setiap pihak, sehingga tak ada yang merasa kalah atau dirugikan. 

6.5.Memahami Baru Kemudian Dipahami 

Memahami tidak sekedar mendengarkan, juga tidak sekedar mengerti secara intelektual. Perlu kita sadari bahwa kita sering mendengarkan dan menanggapi secara otobiografis. Kita mengevaluasi sesuatu berdasarkan apa yang kita setujui, kita menyelidik berdasarkan kerangka acuan kita sendiri, kita menasehati berdasarkan pengalaman kita sendiri, kita menafsirkan berdasarkan motif kita sendiri. Kita perlu memahami dengan hati untuk benar-benar dapat berempati dengan sesama kita. Hati mempunyai akalnya sendiri yang tidak dikenal oleh akal, kata Pascal. Hanya kalau kita sungguh-sungguh memahami sesama, maka dia akan berusaha memahami kita. 

6.6.Bersinergi 

Banyak orang melihat orang yang berbeda dengan dia itu keliru atau berlawanan dengan dia. Padahal sebuah lukisan menjadi indah karena memadukan berbagai warna yang berbeda. Kita harus belajar untuk melihat perbedaan sebagai peluang untuk bersinergi daripada berkonflik. Kita perlu menciptakan tujuan bersama yang dapat dicapai dengan memadukan berbagai peran. 

MEMELIHARA 

6.7.Mengasah Diri 

Dunia sekitar kita terus berubah dan berkembang, karena itu kitapun perlu terus mengasah diri untuk berkembang. Jika kita tak berkembang, kita menghambat perkembangan dunia (orang) di sekitar kita, apalagi kalau kita punya otoritas dan pengaruh. Selain itu kalau kita terus mengasah diri, kita akan bekerja dengan lebih efisien dan efektif. Kita tak pernah boleh mengabaikan kesempatan untuk mengasah diri, termasuk demi alasan kesibukan. Covey memberi contoh pengajaran ini. 

Seorang tukang potong kayu yang kuat terus bekerja menggergaji kayu, dia hanya beristirahat untuk makan dan tidur. Suatu ketika ada orang yang mengingatkan dia untuk mengasah gergajinya. Sambil terus bekerja dia mengatakan: “Kamu lihat sendiri saya terus bekerja, mana mungkin saya sempat mengasah gergaji ini”. Sayang sekali, padahal seandainya dia mengasah gergaji itu, dia akan dapat bekerja lebih cepat dan menghasilkan potongan kayu lebih banyak, daripada terus bekerja. 

7. MEMBANGUN KOMUNITAS BASIS 

Seperti kita telah melihat kini lembaga-lembaga besar tidak bisa kita harapkan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan kita. Ambil contoh konkrit sebuah sekolah katolik di kota kecil sulit hidup karena himpitan sekolah negri dan sekolah swasta lain. Kita sering putus asa dan kadang membiarkan saja sekolah itu sampai mati sendiri. Saya sering kasihan sekali melihat para guru di situ, mereka menjadi orang yang sangat minder dengan gaji jauh dari tingkat sejahtera. Mereka bekerja ala kadarnya karena sulit menemukan pekerjaan lain. Kadang mereka menghibur diri atau kita hibur bahwa untuk melakukan pekerjaan luhur itu dibutuhkan matiraga. Mengharapkan bantuan pemerintah atau protes agar mereka tak menghimpit sekolah swasta dengan menambah sekolah negri seperti berteriak di padang belantara. 

Mengapa kita tak mulai dengan mengandalkan diri sendiri? Kita membangun jaringan dengan uamt katolik lewat Gereja. Bukan dengan minta Gereja memaksa atau membujuk orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah katolik, tapi dengan duduk bersama. Kita bertanya pada orang tua katolik ingin anaknya menjadi apa dengan sekolah? Apakah harapan itu akan mereka peroleh lewat sekolah negri? Kalau tidak pendidikan macam apa yang dapat kita berikan? Mari kita bekerjasama. Sudah tentu dukungan pastor perlu, tapi juga sikap sekolah lebih penting lagi. Apakah sekolah mau mendengarkan harapan, kesulitan orangtua, guru. Saya melihat beberapa paroki yang melakukan hal ini membuat sekolah katolik bisa hidup dan berkembang. Masalahnya bukan masalah ekonomi membuat sekolah itu tetap hidup, tapi dengan sekolah itu kita dapat merancangkan kegiatan belajar mengajar dan penanaman karakter sesuai dengan yang kita harapkan. Inilah salah satu bentuk komunitas basis yang mampu mandiri tanpa perlu mengharapkan belaskasih lembaga besar yang tak kenal belaskasih. 

Kita juga dapat membangun komunitas basis dalam sebuah stasi atau paroki pedalaman. Antara lain dengan mengajak masyarakat untuk membangun koperasi sehingga mereka tak perlu menjadi kurban “bank titil” atau pengecer dan tukang kredit yang menghisap uang mereka. Dengan koperasi mereka bisa membeli barang secara grosir dan menjual kepada warga dengan sedikit keuntungan. Koperasi juga mengajar mereka untuk mengatur keuangan mereka, yang menjadi dasar untuk mengatur kehidupan mereka. 

Dalam lampiran anda juga dapat melihat komunitas basis alternatif yang inspiratif. 

LAMPIRAN 

PESANTREN SUMBER PENDIDIKAN MENTAL AGAMA ALLAH(SPMAA) – LAMONGAN 

Pesantren ini didirikan oleh Mohamad Muctar, orang kaya dan tuan tanah di desa Turi, Lamongan karena prihatin dengan situasi bangsa yang merosot akhlaknya karena melalaikan Tuhan. Konon pak Muctar mendapat pengalaman gaib berjumpa dengan nabi Isa. Selain pesantren putra putri sebenarnya lembaga ini punya berbagai pelayanan: pendidikan mulai PAUD sampai SMU, Panti Asuhan, Panti Wredha (Lansia), Kunjungan dan pelayanan lansia di rumah mereka dll. Mereka hidup sederhana dengan banyak doa, belajar, bekerja dan melayani. Berikut adalah kutipan kisah seorang suster PK yang live-in di pesantren ini. 

1. Penerimaan situasi dan keadaan mereka dalam kekurangan dan keterbatasan. 

Selama live In kami menjadi bagian dari Pondok Pesantren, kami terlibat secara langsung dengan kehidupan para Santri. Saya melihat dan mendengar sharing-sharing tentang bagaimana mereka dengan ikhlas menerima situasi hidup yang sangat sederhana baik dalam hal makanan, tempat tinggal dan sarana-sarana. Setiap hari Senin dan Kamis mereka wajib berpuasa, dan setiap hari makan hanya 2 kali, itupun dengan menu yang sangat sederhana. Begitupun dengan tempat tinggal, mereka tidur beralaskan tikar, tanpa kasur apalagi tempat tidur, tidak pernah melihat televisi dan mendengar radio, serta tidak pernah jalan keluar pondok, hidup mereka hanya untuk beribadah-belajar dan bekerja. Tetapi mereka menerima semuanya secara ikhlas dan yakin bahwa ini adalah jalan menuju kesucian dan kebahagiaan hidup diakhirat. 

Sharing-sharing mereka ini membuat hati saya terusik, terlebih soal gaya hidup, makanan dan sarana-sarana. Di komunitas makanan berlimpah, tempat tinggal nyaman, ada waktu rekreasi serta tersedia sarana-sarana yang mendukung perkembangan pribadi dan pelayanan. Namun kadang saya tidak bersyukur bahkan mengeluh. Saya tidak sungguh-sungguh memanfaatkannya sebagai sarana pengembangan diri dan kadang tidak menyadari bahwa semua kenyamanan itu membuat saya menjadi pribadi yang kurang tekun dalam memaknai semuanya itu sebagai kasih Allah yang selalu mencukupi. Saya disadarkan bahwa di dunia ini ada orang-orang muda yang dengan sadar menjalani hidup demi nilai-nilai agama yang diyakini akan membawa mereka kepada keselamatan dunia akhirat. Askese dan matiraga menjadi jalan yang dipilih dan disetiai sebagai sarana untuk membentengi diri dari segala godaan hidup yang menyesatkan. 

2. Mengutamakan orang lain 

Cara mereka melayani dan memberi dengan tulus menumbuhkan dalam hatiku semangat untuk terbuka belajar dari mereka. Bahkan mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memberi yang terbaik kepada para tamu yang datang. Kami ditempatkan dirumah yang terbaik diantara rumah-rumah lainnya yang mereka miliki, kami dijamu dengan makanan terbaik dibandingkan dengan apa yang mereka nikmati untuk diri sendiri. 

Suatu hari ketika kami membantu memasak di dapur, pondok pesanten ini belanja ayam, kami melihat bahwa Bu Maryati (istri Gus Kosi’in) memilah-milah ayam, yang ukurannya agak besar untuk santri putra, yang ukuran sedang untuk santri putri sedangkan sayap dan ukuran kecil-kecil untuk keluarga Dalem (sebutan untuk keluarga Pak Guru). 

Dalam segala hal mereka tidak pernah mengambil yang terbaik , mereka selalu memberi yang terbaik untuk sesama yang lebih membutuhkan. Sedangkan untuk mereka sendiri mereka mengatakan cukup bahagia dengan yang ada. Memberi itu lebih mulia daripada menerima. Memberi juga bagian dari ajaran agama yang pahalanya adalah kebahagiaan abadi diakhirat. 

Pengalaman ini mengajar kami bagaimana memberi yang terbaik untuk orang-orang yang dilayani. Berani dengan tulus dan total memberikan apa saja yang dimiliki untuk orang lebih membutuhkan. Pengalaman ini juga menantang saya yang seringkali tidak sungguh-sungguh dalam memberi bahkan dengan sikap terpaksa dan ala kadarnya. 

3. Kasih kepada sesama 

Walaupun dengan gaya hidup yang sangat sederhana Pondok Pesantren ini menunjukkan semangat berbaginya dengan merawat orang orang tua dalam panti Wreda Kasih, orang-orang gila dan anak yatim piatu. Ajaran pak Guru untuk membagikan apa yang dimiliki kepada fakir miskin menjadi sebuah pola penanaman nilai yang cukup berhasil. Anak cucu Pak Guru memberi teladan nyata dalam hal ini. Mereka selalu membagi apa yang mereka miliki dengan presentasi 25% untuk keluarga dan 75% untuk fakir miskin. 

Yang paling dapat dirasakan adalah bahwa para Santri juga dikader untuk menjadi tenaga-tenaga penyayang umat yang mampu mengasihi dan menjadi saksi kebaikan agama Islam di tengah masyarakat dengan cara membina mereka untuk juga berbagi kasih dengan sesama terutama dengan mereka yang menderita. 

Saya begitu terharu melihat cara Pondok ini menghayati agama dan menjadikan nilai-nilai kasih sebagai jalan menuju akhirat. 

Sebagai seorang Puteri Kasih melihat cara hidup yang demikian ini membuka kesadaran baru bahwa jalan KASIH bukan hanya milik umat Katolik, tetapi juga menjadi jalan agama Islam dalam mengejar keselamatan. Saya kemudian di perbaharui dalam cara pandang, dan tertantang untuk semakin baik lagi dalam melayani, dalam cara saya berbagi, dalam menularkan nilai-nilai Injili dan nilai Vinsensian. Dari sini saya belajar untuk juga memiliki semangat yang sama, siap sedia membagikan apa yang saya miliki dengan penuh kasih baik kemampuan, waktu, tenaga dan materi untuk orang-orang yang saya layani. Bahkan memberi yang terbaik untuk Orang-orang Miskin, untuk Serikat dan untuk Tuhan. 

4. Hidup rohani 

Mereka solat 8 kali sehari mulai pk 2.30 subuh. Para Santri terbuka saat kami mengikuti semua kegiatan antara lain : pengajian, pelajaran Pesantren, tafsir Hadis dan tafsir Al’quran. Saya bersyukur karena hal ini menjadi pengalaman yang menanbah wawasan dan kesadaran baru. Waktu kami sebagian besar berada di Mesjid. Kami mengikuti acara-acara sholat, pengajian, tafsir Hadis dan tafsir Al’quran, serta pelajaran Pesantren. Mereka begitu terbuka dan tidak merasa risih dengan kehadiran kami, bahkan mereka membantu kami dalam acara-acara yang tidak kami ketahui. Setiap pertanyaan kami selalu dijawab dengan antusias dan jujur. 


PENGUSAHA PERUMAHAN MEWAH PESONA DEPOK DAN PESONA KHAYANGAN 

H. Fauzi Saleh hanyalah lulusan SMP yang merasakan kerasnya hidup di ibu kota. Begitu lulus SMP dia bekerja sebagai pencuci mobil di sebuah bengkel, kemudian menjadi penjaga gudang. Dia punya usaha sampingan sebagai tukang taman. Dari usaha ini dia dapat menabung sejumlah uang yang kemudian dibelikan tanah. Bersama beberapa temannya dia membangun rumah di atas tanah itu. Setelah jadi rumah itu dijual dengan keuntungan lumayan yang dijadikan modal untuk membeli tanah dan membangun rumah. Dia banyak berdoa bersama teman-temannya dan berzikir setiap malam Jum’at serta bekerja keras untuk membangun rumah yang terus laku dijual. Kini 30 tahun kemudian di usia 45 tahun dia telah menjadi pengusaha yang membangun ratusan rumah mewah dengan 100 karyawan tetap dan 2000 buruh. Yang menarik Fauzi memperlakukan karyawan dan buruhnya sebagai sahabat dan sangat murah hati. Setiap tahun mereka mendapat 22 bulan gaji. Pada ulang tahunnya yang ke 45 ia memberikan hadiah 50 unit mobil kepada karyawan tetapnya dan bonus sebulan gaji kepada 2000 buruhnya. Fauzi tak pernah meninggalkan doa. Setiap malam jumat ia mengadakan doa yang setia dilakukan sejak dia masih miskin bersama teman-temannya. Dan sebulan sekali dia mengadakan pengajian akbar yang disebut Pesona Zikir yang dihadiri seluruh karyawan, buruh dan keluarganya. Ia mengatakan : “Ini semua dari Allah. Saya tidak ada apa-apanya.” Sekitar 60 % keuntungan digunakan untuk kegiatan sosial, selebihnya digunakan untuk modal usaha. Dia sendiri hanya mengambil sedikit untuk hidup sederhana bersama istri dan 6 orang anaknya: “Saya hanya mengambil sekedarnya, selebihnya digunakan untuk kesejahteraan karyawan dan kegiatan sosial”. (diringkas dari buku Donald Lantu dkk, Servant Leadership, Gradien Books, Yogyakarta, hlm 60-62) 


[1] BA Pareira, Nabi-Nabi Perintis – Pengantar Kitab Kitab Kenabian Bagian 1, LBI, Kanisius 1985 hlm 14. Buku ini sangat jelas mengulas Kenabian dalam bangsa Israel (Kitab Suci). Lihat juga “Prophet” dalam Xavier Leon Dufour, Dictionary of Biblical Theology- updated second edition, Saint Paul Publication, 1990. 
[2] BA Pareira, Op.Cit., hlm 72. 
[3] Salah satu kisah yang jelas menunjukkan ini adalah perdebatan Amazia dengan Amos (Am 7:10-17). 
[4] 1Sam 7:5; 12:19,23; 1 Raj 13:6; 2 Raj 13:6; 2Raj 4:33; 6:17-18; Yer 7:6; 42:2,4,20; 2 Mak 15:4 
[5] Xavier Leon Dufour, Op.Cit., hlm 469 
[6] Robert K. Greenleaf, Seeker and Servant- Reflections on Religious Leadership, Jossey Bass Publishers, San Fransisco 1996. 
[7] Robert K. Greenleaf, The Servant Leader – A Transformative Path, Paulist Press, New Jersey 2003, 43-68 
[8] Stephen Covey, The Leader in Me – Kisah Sukses Sekolah dan Pendidik Menggali Potensi Terbesar Setiap Anak, Gramedia Jakarta 2009. 
[9] Ibid, hlm 49 
[10] Saya yakin kalau kita sungguh memperhatikan kaum muda dan memancarkan peran kenabian, kita juga akan menarik mereka ke dalam panggilan religius kita yang akhir-akhir ini semakin berkurang. 
[11] Ini dilakukan oleh kelompok mahasiswa di beberapa perkampungan miskin di Malang. Hal yang sama-mulai dengan memperhatikan anak dan kaum muda- juga dilakukan oleh romo Pedro Opeka CM yang menggerakkan orang miskin membangun kehidupan mereka hingga berhasil membangun perumahan untuk 17 000 orang di Akamasoa pinggiran Tananarive ibukota Madagaskar. Lih. Robert Maloney dkk, Seeds of Hope – Stories of Systemic Change, Vincentian Family’s Commission for Promoting Systemic Change, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar